Hal ini dikemukakan Deputi Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, Rabu (25/1/2012), di Jakarta.
Badai Matahari yang ditandai munculnya flare ini masuk skala menengah tinggi (M8-9), dengan indikator pancaran sinar-X yang mencapai 10 - 5 hingga 10 – 4 watt per meter persegi. Badai Matahari disebut mencapai skala sangat kuat (ekstrem) bila berskala 10 – 4 hingga 10 – 3 watt per m2.
Serbuan partikel proton ke Bumi diantisipasi dengan mengalihkan jalur penerbangan jarak jauh dari Amerika Serikat ke Asia dan sebaliknya yang melintasi kutub Utara.
Paparan partikel proton ini tidak berdampak bagi Bumi karena ada lapisan magnetosfer yang menahan partikel tersebut. Radiasi dari badai Matahari juga akan diserap lapisan ozon.
Badai Matahari antara lain pernah menimbulkan dampak pada tahun 1989 dan tahun 2000 bagi sistem kelistrikan di negara- negara di lintang tinggi dan dekat kutub, antara lain Kanada.
Pantauan di Indonesia
Partikel energetik proton mencapai Bumi Selasa (24/1) malam waktu Indonesia. Menurut Clara Yono Yatini, Kepala Pusat Sains Antariksa Lapan, badai Matahari telah memengaruhi komunikasi radio antarstasiun milik Lapan hingga terjadi blackout.
Kondisi geomagnet di Indonesia terpantau di tujuh stasiun Lapan, yaitu di Kototabang, Sumatera Barat; Tanjungsari, Jawa Barat; Pontianak, Kalimantan Barat; Biak, Papua; Manado, Sulawesi Utara; Parepare, Sulawesi Selatan; dan Kupang, Nusa Tenggara Timur. Hasil pantauan tidak menunjukkan gangguan berarti, kata Clara.
Thomas menjelaskan, flare ini merupakan yang pertama kali terpantau sejak Mei 2005. Kelas M yang mendekati kelas X, dampaknya akan kuat bila mengarah ke bumi.
Flare dari teropong di Bumi tampak berupa bintik hitam di permukaan Matahari dan akan meningkat menjadi letupan terang. Sinar-X yang terpancar dari letupan itu terekam pada satelit Geostationary Operational Environmental Satellite.
Flare diikuti lontaran massa dari korona Matahari. Yang menonjol adalah proton yang melesat dengan kecepatan 1.400 kilometer per detik.
Korona terdeteksi oleh wahana pemantau Matahari SOHO pada posisi antara Bumi dan Matahari berjarak 1.500.000 km dari Bumi (4 kali jarak Bumi-Bulan). "Partikel bermuatan dari Matahari itu tampak seperti hujan salju, berarti mengarah ke arah bumi," kata Thomas.
Anomali cuaca Matahari ini akan memengaruhi ionosfer. Lapisan ini digunakan untuk memantulkan gelombang pendek pada komunikasi radio. Komunikasi radio frekuensi HF akan terganggu, termasuk siaran radio luar negeri, seperti BBC, VOA, dan ABC. Navigasi berbasis satelit, seperti GPS, juga dapat terganggu akurasinya.
Badai Matahari berskala menengah tinggi ini berpotensi mengganggu operasional satelit, seperti satelit komunikasi. Bila gangguan tidak dapat diatasi oleh operator satelit, ada kemungkinan akan mengganggu telekomunikasi penggunaan telepon seluler, siaran TV, dan komunikasi data perbankan.
Namun, tidak benar radiasi dari Matahari itu akan berefek langsung bagi tubuh manusia. Juga tidak ada efek radiasi ketika berkomunikasi menggunakan telepon seluler. "Kalau ada berita itu hanya hoax," kata Thomas. Efek paparan proton hanya terjadi di wilayah kutub. (YUN)
Sumber: JAKARTA, KOMPAS.com.
Tanpa mempedulikan ramalan tentang datangnya kiamat
pada tahun 2012, para ilmuwan awalnya sepakat bahwa pada tahun tersebut memang
bakalan terjadi badai matahari. Namun, perkiraan itu belakangan bergeser,
karena bintik hitam matahari sampai sekarang belum muncul.
Bintik hitam atau secara ilmiah dinamai sunspot
adalah tanda-tanda adanya aktivitas matahari. Banyaknya sunspot yang mengandung
medan magnet akan menciptakan ledakan sehingga aktivitas matahari dianggap
telah mencapai puncaknya. Radiasi gelombang elektromagnetik yang disemburkan
oleh ledakan itu dapat mencapai bumi yang berjarak 150 juta Km dari matahari.
Sesuai siklus 11 tahunan matahari, puncak aktivitas
matahari akan sampai pada siklus ke-24 pada 2012 nanti. Karena itu, para
ilmuwan memperkirakan sunspot akan mulai muncul pada 2007 lalu dan bertambah
banyak pada tahun-tahun sesudahnya.
“Tapi ternyata sebagian peneliti melihat sekarang
ini belum muncul bintik hitamnya itu,” kata Sri Kaloka Prabotosari, Kepala
Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa (Pusfatsainsa) Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (Lapan) di kantor Lapan Bandung, Jl Djundjunan, Bandung, Jawa Barat,
Kamis (10/12).
Kepala Bidang Matahari dan Antariksa Lapan Clara Y
Yatini mengatakan, sunspot terbentuk akibat kuatnya medan magnet di permukaan
matahari. Tampak gelap yang telihat pada bintik hitam matahari disebabkan
karena energi yang ada di sunspot itu tidak bisa dilepaskan.
Dia melanjutkan, karena kuatnya medan magnet pula,
badai matahari akan berhembus dari daerah sunspot tersebut. Makin banyak
bintik-bintik hitam di matahari, makin besar pula potensi terjadinya badai
matahari.
“Itu proses yang terjadi di matahari dan tidak bisa
dikontrol. Kalau memang waktunya meledak, ya, meledak,” kata dia.
Senada dengan Sri Kalola, menurut Clara, siklus
aktivitas matahari yang ke-24 semula diperkirakan lebih besar dibanding siklus
sebelumnya. Akan tetapi, dengan melihat belum adanya sunspot di permukaan
matahari, prediksi itu berubah.
Menurutnya, dengan melihat perilaku matahari yang
seperti itu, Lapan memprediksi aktivitas matahari akan mencapai puncaknya bukan
pada 2012, melainkan Mei 2013. Saat itu, ledakan-ledakan matahari, yang
dikait-kaitkan orang dengan ramalan kehancuran bumi dan kiamat, akan terjadi.
“Dengan mengamati matahari terus menerus,
kelihatannya matahari ini masih malas-malasan. Akhirnya para peneliti mengulang
lagi prediksinya dan mengatakan siklus ke-24 ini bakalan rendah daripada siklus
ke-23,” tuturnya.
Tangkis Isu Kiamat 2012, Lapan Luncurkan Buku
Masyarakat dibuat resah oleh ramalan tentang
datangnya hari kiamat pada 2012 setelah dirilisnya film “2012″ garapan Rolland
Emmerich. Seketika itu pula berbagai tanggapan muncul baik dari kalangan agama
maupun ilmuwan.
Tidak mau ketinggalan, Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (Lapan) memberikan penjelasan tentang fenomena alam yang
akan terjadi pada 2012 mendatang. Untuk itu Lapan menerbitkan buku yang
diedarkan kepada para guru di sekolah-sekolah.
“Sebagai lembaga yang melakukan penelitian di bidang
keantariksaan, Lapan tergugah untuk memberikan gambaran tentang fenomena alam
yang akan terjadi pada tahun 2012 itu,” kata Sri Kaloka Prabotosari, Kepala
Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa (Pusfatsainsa) Lapan dalam pengantarnya.
Buku yang terbit pada November 2009 itu berjudul
“Fenomena Cuaca Antariksa”. Buku dengan tebal 35 halaman itu merupakan
kerjasama Lapan dengan penerbit Puspa Swara.
Sebelum sampai ke pertanyaan inti mengenai benarkah
bumi akan hancur dalam tiga tahun lagi, buku itu awalnya berbicara mengenai
cuaca antariksa. Cuaca di langit jauh itu sangat berbeda dengan di bumi seperti
adanya hujan atau salju. Cuaca antariksa adalah sebuah kondisi di matahari,
lapisan udara magnetorfer serta ionosfer.
Cuaca antariksa dipengaruhi oleh aktivitas matahari
yang memancarkan miliaran ton partikel, plasma berenergi tinggi serta gelombang
elektromagnetik. Pemahaman baru inilah yang ditawarkan Lapan untuk memahami
peristiwa yang akan terjadi pada 2012 mendatang. Bahwa pada tahun keramat itu
yang terjadi adalah perubahan cuaca antariksa akibat meningkatnya aktivitas
matahari.
Aktivitas matahari sendiri bisa berwujud flare atau
Corona Mass Ejection (CME). Flare didefinisikan sebagai ledakan di matahari
yang memancarkan radiasi gelombang elektromagnetik seperti sinar X dan Y.
Radiasi itu dapat mencapai bumi dalam waktu 8 menit. Sementara CME adalah
lontaran massa korona matahari. Jika diamati, CME seperti letupan yang
menyembur dari matahari.
Bagaimana memperkirakan terjadinya badai matahari
tersebut? Dijabarkan di halaman 8, aktivitas matahari dapat diukur dari kemunculan
sunspot atau bintik hitam di permukaan matahari. Semakin banyak sunspot berarti
makin tinggilah aktivitas matahari. Peningkatan itu membentuk siklus yang =
rata-rata muncul tiap 11 tahun sekali.
Nah, pada 2012 kebetulan matahari sedang mengalami
puncak siklusnya yang ke-24. Itu berarti, flare atau CME, seperti halnya
siklus-siklus terdahulu, diperkirakan akan banyak terjadi. Hanya saja teknologi
yang ada saat ini belum mampu memastikan kapan waktu persisnya.
Kalau begitu, pertanyaannya kemudian adalah seberapa
kuat dampak cuaca ekstrem yang timbul dari badai matahari itu terhadap bumi
nantinya? Apakah planet ini dan seluruh kehidupannya akan hancur lebur?
Menurut catatan, tulis buku tersebut, ledakan paling
besar sepanjang pengamatan terhadap matahari pernah terjadi pada Oktober hingga
November 2003. Namun, badai itu tidak menyebabkan bumi hancur seperti gambaran
mengerikan yang disuguhkan oleh film 2012.
Namun, dalam peristiwa enam tahun silam tersebut,
ledakan matahari memang mempengaruhi lapisan magnetosfer dan ionosfer di atas
bumi. Teknologi buatan manusia yang mengudara di lapisan tersebut, misalnya
satelit, juga terganggu. Sayang, tidak dirinci contoh-contoh kerusakan satelit
dan = gangguan komunikasi yang terjadi akibat badai matahari tahun 2003 itu.
“Flare dan CME dengan intensitas besar jika mengarah
ke bumi akan berdampak pada kondisi magnetorfer dan ionosfer. Dampaknya di
magnetosfer adalah badai magnetik yang dapat merusak jaringan listrik.
Sedangkan akibat dinamika di ionosfer adalah menganggu sistem teknologi
komunikasi dan navigasi buatan manusia,” (halaman 27).
Bagaimana bila pada 2012 yang terjadi adalah super
flare hingga menelan bumi yang ukurannya 1/13 ribu ukuran matahari? Dalam
sejarah, belum pernah ada badai matahari yang maha dahsyat seperti itu. Bisa
saja peristiwa itu terjadi, namun manusia di seluruh dunia belum bisa
memprediksikannya.
“Terlepas dari isu kiamat 2012, cuaca ekstrem
merupakan fenomena alam yang berdampak pada kehidupan manusia. Sekitar tahun
2012-2013, tingkat aktivitas matahari dapat memicu terjadinya cuaca antariksa
yang ekstrem tersebut,” tutup buku tersebut.
Lapan: Badai Matahari Tahun 2012 Tak Perlu
Dikhawatirkan
Para ilmuwan memperkirakan akan ada badai Matahari
saat aktivitas Matahari mencapai puncaknya pada tahun 2012. Namun, masyarakat
diingatkan agar tidak perlu merasa khawatir terhadap ancaman badai tersebut.
“Badai
Matahari itu tidak ada yang ekstrem dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan,”
kata Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaludin.
Hal itu
disampaikan dia saat berdiskusi dengan kalangan media di Kantor Lapan Bandung,
Jl Djundjunan, Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/12) kemarin.
Menurut
Thomas, badai Matahari merupakan fenomena yang terus menerus terjadi di
Matahari. Hanya saja, saat aktivitas Matahari berada di puncaknya, badai itu
dapat muncul beberapa kali dalam satu hari.
Dikatakan
dia, badai Matahari yang akan terjadi pada 2012 juga belum tentu mengarah ke
planet Bumi, yang berjarak 150 juta mm dari Matahari Sebab gerakan beputar
Matahari dapat menyebabkan badai tersebut berbelok meski sebelumnya tepat
menghadap ke Bumi.
Thomas
mencontohkan, ledakan Matahari paling besar pernah terjadi pada 2003 silam.
Namun, peristiwa tersebut tidak menyebabkan kehancuran massal sebagaimana
digambarkan oleh film “2012″. Saat itu dampak paling
dirasakan adalah pada satelit buatan manusia yang mengorbit di atas Bumi.
“Ada banyak
satelit yang operasionalnya terganggu. Ada pula yang mengalami hilang kontak
atau tidak berfungsi beberapa waktu. Lapan juga mencatat adanya penurunan
telekomunikasi di Indonesia. Komunikasi radio gelombang pendek terputus,” urai
profesor di Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut.
Pada tahun
1989, badai Matahari pernah menghanguskan trafo listrik di Quebec. Beberapa
wilayah di Swedia juga sempat tidak mendapatkan pasokan litrik. Di tahun 2012
mendatang, badai Matahari kemungkinan berdampak sama, namun kini dengan
teknologi modern, manusia sudah bisa mengantisipasinya.
“Pengetahuan
kita tentang perilaku dan aktivitas Matahari dan bagaimana pemantauannya
semakin baik. Jadi antisipasi operator satelit sudah semakin baik,” ujar
Thomas.
Berdasarkan
fakta astronomi yang diungkapkannya, Thomas tidak percaya badai Matahari 2012
akan menyebabkan kiamat seperti diramalkan banyak orang. Secara keilmuan,
kiamat tersebut tidak akan terjadi.
“Isu 2012,
kan, berawal dari ramalan suku Maya, yang dari ketua adatnya sendiri membantah
bahwa itu tafsiran dari akhir kalender Maya, bukan berarti kiamat,” pungkasnya.